Tema
|
:
|
Family Therapy
|
Judul Jurnal
|
:
|
Marriage and Family Therapists Working
With Couples Who Have Children With Autism
|
Penulis
|
:
|
Julie Ramisch
|
Identitas Jurnal
|
:
|
Tahun 2012, Vol 38, No. 2, Halaman
305-316
|
Pendahuluan
|
:
|
Autisme yang belakangan ini menjadi
topik yang menjadi fokus utama media popular, dilaporkan bahwa orang tua dari
anak-anak autis berada dalam kecenderungan tingkat perceraian yang tergolong
lebih tinggi dari tingkat rata-rata jumlah kasus perceraian yang ada. Namun
hal tersebut hanyalah sebuah isu belaka yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris dan ilmiah. Selain itu, para ahli/peneliti pun mengemukakan bahwa hal
tersebut bukanlah salah satu faktor pemicu keretakan rumah tangga. Yang tepat
adalah terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kesehatan dan stabilitas
perkawinan di antaranya usia, jumlah anak, jenis kelamin anak, ras, status
sosial ekonomi dan sebagainya. Dan untuk masalah orang tua yang memiliki anak
yang terdiagnosis autis kemungkinan bisa saja memberikan kontribusi untuk
memicu permasalahan dalam perkawinan yang disertai dengan variabel lain dan
hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi pasangan tentang kehidupan
perkawinannya.
|
Metode Penelitian
|
:
|
Penelitian tersebut menggunakan berbagai
pendekatan yakni menggunakan pendekatan model Double ABCx yang pertama kali
dikembangkan oleh Hill (1949, 1958) yang kemudian diadaptasi dan dimodifikasi
oleh McCubbin dan Patterson. Model ini dijadikan sebagai alat yang dapat
membantu terapis untuk dapat menilai dan membuat panduan treatment yang tepat
pada pasangan yang memiliki anak autis. Hal-hal yang dapat diungkap melalui
terapi ini adalah (A) stressor dan tekanan, (B) kemampuan keluarga untuk
memperoleh dan memanfaatkan sumber daya manusia dan masyarakat untuk
mengatasi tekanan, (C) definisi dan persepsi keluarga terhadap situasi untuk
dapat memberikan makna dan menyusun strategi untuk mengatasi permasalahan
yang ada, dan (X) krisis (proses adaptasi). Model ABCx tersebut sedikitnya
juga merupakan terapan dari focused solution therapy. Selain itu, dikombinasi
dengan teknik couples therapy.
Hal-hal yang dilakukan terapis di
antaranya :
1. Melakukan asesmen dan intervensi untuk
mengatasi stressor ; terapis diharapkan mampu membantu klien (pasangan) untuk
membuat spesifikasi terkait stressor yang muncul yang mana memberikan
kontribusi besar dalam sistem keluarga. Pasangan (orang tua) diminta untuk
menuliskan daftar masalah apa saja yang dialami pada selembar kertas. Setelah
itu, terapis membantu mengarahkan mereka untuk fokus pada masalah yang ada
dalam daftar tersebut. Kemudian, membantu pasangan dalam mengkomunikasikan
permasalahan tersebut antara satu sama lain.
2.
Melakukan asesmen dan intervensi tentang
sumber daya. Maksudnya, terapis harus memiliki kompetensi dan wawasan yang
luas mengenai topik permasalahan yang menjadi fokus pasangan. Dalam hal
kaitannya dengan masalah autis, maka terapis harus mempunyai sumber-sumber
relevan (referensi) tentang autis yang sekiranya bermanfaat bagi pasangan
tersebut. Di samping itu, terapis memberikan waktu luang pada pasangan dan
meminta mereka mencari referensi tentang penyakit autis dari berbagai media
maupun internet. Ketika mereka telah memperoleh sumber-sumber referensi yang
relevan maka hal ini dapat dijadikan sebagai langkah pijakan untuk mengetahui
pelayanan pendidikan yang terbaik dan sesuai untuk mewadahi anak mereka yang
terdiagnosis autis. Terapis juga dapat memberikan rekomendasi kepada pasangan
untuk tetap menjaga kesehatan hubungan perkawinan mereka.
3. Melakukan asesmen dan intervensi untuk
coping. Terapis dapat meluangkan waktu dengan pasangan suami istri untuk
membahas kemampuan atau strategi coping untuk mengatasi masalah tekanan yang
dialami. Terapis membantu mereka agar dapat berpikir realistis sehingga dapat
menerima diagnosis yang menyatakan bahwa anaknya positif autis, memberikan
support kepada mereka agar dapat keluar dari rasa frustasinya, dan membantu
mereka dalam mengembangkan sense of self agar dapat memahami anaknya secara
lebih mendalam, dan terakhir adalah terapis membantu pasangan tersebut untuk
bekerja bersama-sama dalam mengatasi / memecahkan masalah dan menata serta
mengelola kembali sistem keluarga mereka (beradaptasi dengan baik satu sama
lain) demi mencapai “stronger relationship” di antara suami, istri dan
anak.
|
Hasil Penelitian
|
:
|
Terapis dan orang tua perlu untuk
percaya bahwa ada harapan untuk masa depan dan bahwa semua keluarga memiliki
potensi untuk beradaptasi positif ketika seorang anak didiagnosis dengan
autisme. Terapis memiliki potensi untuk menjadi aset penting untuk fungsi
keluarga dan kesejahteraan. Melalui pendekatan Double ABCx dalam couples
therapy ini dapat membantu pasangan untuk dapat bertahan hidup dan memberikan
pencerahan terkait pemahaman tentang autism. Sehingga akan berdampak positif
pada keluarga dalam mengelola stress yang muncul dan membantu mereka untuk
merencanakan strategi ke depannya serta memberikan evaluasi secara
keseluruhan.
|
Kesimpulan
|
:
|
Mengasuh anak autis bukanlah hal yang mudah. Butuh sebuah perjuangan dan
pengorbanan yang ekstra baik dalam hal perasaan, tanggung jawab, pemenuhan
kebutuhan, hingga mengatur emosionalitas antar pasangan agar dapat mengelola tingkat
stress masing-masing. Oleh karena itu, peneliti menyusun penelitian dengan
cara menyusun teknik terapi baru dengan menggunakan model Double ABCx dari
McCubbin dan Patterson. Teknik tersebut dijadikan sebagai instrument terapi
untuk membantu para terapis secara efektif dalam menanggulangi permasalahan
yang terjadi antar pasangan khususnya untuk menangani tingkat stress yang
dialami pasangan yang memiliki anak autis seperti kasus yang terjadi pada
keluarga Jamie&Maria yang memiliki anak autis bernama Adam
|
Kelemahan
|
:
|
Tidak ada penelitian sebelumnya yang
mengungkap tentang bagaimana pengaruh penerapan atau pemberian terapi
pasangan (terapi keluarga) terhadap keluarga yang memiliki anak autis. Memang
terdapat kekurangan informasi mengenai terapi keluarga atau terapi pasangan
yang memiliki anak autis, tetapi ada beberapa penelitian yang dapat menjadi
acuan yakni penelitian terkait terapi keluarga dengan orang tua yang memiliki
anak berpenyakit tertentu ataupun cacat. Dalam banyak kasus, psikoedukasi
merupakan teknik yang paling sering digunakan oleh para peneliti dalam
melakukan intervensi kepada para orang tua yang memiliki anak cacat
(berkebutuhan khusus).
|